Tentang Supeni, Kelamin, dan Anjing Oleh : Ramdhani Nur Supeni dipecat lagi. Sial sekali. Padahal baru kemarin naik jabatan dari …
Tentang Supeni, Kelamin, dan Anjing
29 Sabtu Mar 2014
Posted Cerpen, Humanis, Ramdhani Nur
in29 Sabtu Mar 2014
Posted Cerpen, Humanis, Ramdhani Nur
inTentang Supeni, Kelamin, dan Anjing Oleh : Ramdhani Nur Supeni dipecat lagi. Sial sekali. Padahal baru kemarin naik jabatan dari …
22 Jumat Feb 2013
Posted Cerpen, Ramdhani Nur, Religius
inTag
Cuma surah Al-Ashr. Tiga ayat pula. Anak SD pun sudah hapal di luar kepala. Plus terjemahannya. Lima belas menit pun pasti kelar. Ustaz Haris membenarkan diri atas keyakinan tersebut. Toh ini cuma khotbah Jumat. Ada setengah jemaah yang tidak ikut tertunduk menopang kantuk pun itu sudah lumayan. Ini khotbah Jumat seperti jumat-jumat lainnya, juga sama seperti kebanyakan tempat. Sudah bagus jika jemaah baru hadir saat azan hampir berakhir. Atau anak-anak yang tidak terlampau gaduh di antara jemaah dewasa yang ikut berkeluh jika ternyata pembacaan khotbah molor sampai lima menit ke depan. Ustaz Haris tahu betul itu. Karena itu pula dipungkaskan segera tugasnya kali ini dengan doa-doa. Serentak para jemaah seperti bersiaga. Menengadah tangan sambil mengumpulkan kesadaran. Jemaah zaman sekarang! Sebuah gerutu tanpa suara.
Sepuluh menit bertolak dari masjid Ustaz Haris sampai pula ke rumah. Disambut rengekan Basuki si bungsu yang terayu oleh aroma wangi dari penjual burger keliling. Sang Ibu yang juga berdiri di situ melirik padanya, seperti sebuah persetujuan sepihak. Amplop dalam saku baju kokonya pun cepat terkoyak.
“Kampret!”
Tentu ini bukan dampratan pada orang-orang di situ. Uang dua puluh ribuan dari dalam amploplah penyebabnnya. Selembar pula. Ini ekspresi yang lebih tinggi dari sekadar geleng-geleng kepala. “Bu, lain kali kalau ada panggilan dari mesjid itu bilang jadwal Bapak sudah penuh!”
Duit segitu bisa buat apa? Pengurus masjid zaman sekarang! Kali ini gerutu itu lebih terdengar
Cirebon, 22 Februari 2013
Bada Jumat
Sumber gambar dari sini
20 Sabtu Agu 2011
kabarnya menjalar dari mata ke bibir,
lalu bibir mengulum kuping kemudian banyak yang nyengir.
bahwa ia sanggup menemukan juga menerka puisi
yang bakal dari mimpi malam milik orang-orang kasihan,
meski hal demikian bukan ia harapkan
bahkan mengakibat ia jengah menampakkan diri.
sampai akhirnya berbagai orang kasihan rela
mengantrikan waktu mereka padanya
agar ia mengorek habis semua puisi
dalam mimpi yang baru mereka temui.
“semalam kutemui bidadari menggotong berkarung cabai!”
“bolaku kempes digigit pak kades!”
“sekolah anakku roboh digilas gedung tinggi!”
“aneh, bom ikan kujadikan rompi. ada apa ini?”
“kenapa aku jadi kenek pesawat terbang,
bukankah pesawat tidak butuh kenek?”
dan masih banyak mimpi mereka bila dituruti.
karena gerah enggan menggubris jawaban,
ia sembunyi di kamar mandi. lama sekali.
“jangan ganggu aku dulu”, katanya pada istrinya yang takut hampir mati.
sedang orang-orang kasihan masih rela mengantri tidak mau mati.
“aku menulis puisiku sendiri untuk mimpiku malam nanti.”
“sudah jadi?” tanya istrinya hati-hati.
“tidak jadi!” sambil menenggelam diri dalam bak mandi.
“nafasku luntur disini. usir saja mereka
atau bantu aku menulis puisi.”
__________
april, 2011
20 Sabtu Agu 2011
Posted Puisi, Ramdhani Nur
inKau adalah segala penyebab
Bahwa ziarah pada lalu dan luka
Tinggallah arakan cerita
Kau baca
Kau pastikan usai
Semua penciptaan mentari ini
Adalah benih dari taburan nafasmu kala doa berakhir terhembus
Begitulah kau berbisik, mengingatkan terhujamnya terik
Seperti hujan-hujan yang mencintai tanah
Seperti itu pula damai kau tuntun membuai nasib lalu, memusnah
ah, sudut langit mana lagi yang ingin kau sentuh
karena rindu kita telahlah lama bersetubuh
adalah kini masa kita sama pecahkan takdir dan waktu
menjatuhkan rahmat-Nya memunguti restu
20 Sabtu Agu 2011
rasanya aku akan mencumbumu lagi bila engkau masih saja melirikku binal seperti itu. entahlah. padahal engkau hanya selembar kosong. tapi setiap kali lenggangmu di hadapanku, akan engkau tinggali sehelai pintu yang sebelumnya sudah kau tiupi semerbak birahi. pasti kuhampiri pintumu itu. lekas kuhirup dalam, lalu kusibak perlahan dengan mataku yang tidak mungkin berkedip. kemudian terbukalah duniamu: halus kulit biru langit yang kadang kelabu, kadang merona jingga, juga sujud gunungmu pada mata air yang paling dalam, dan tapak tetumbuhan hutan yang begitu lebat kesegarannya. maka menghangatlah nafasku dan akan kutelusuri semua itu.
tapi penaku tak bisa berdiri kali ini. tiba-tiba nafasku menghembuskan dingin yang begitu sepi. tidak setetes tintapun yang bisa kumuntahkan lagi.
mungkin karena tiba-tiba engkau menggemulai tatih. sia pelukanmu, sebab engkau terus menunduk dan merintih perih. bukan lagi sehelai pintu yang seharusnya kau jamahkan padaku, tapi sobekan kain kumal busuk dengan ribuan lalat mengerubung, lalu lalat-lalat itu menelanjangi mataku dan memuntahkan duniamu dalam kedipanku: hamparan kulit kasar. menyerupa negeri dipenuhi gerombolan kuman yang menyerap habis susu dari seluruh lautanmu, menggerogoti semua akar hingga rimbunan belantaramu rubuh. tidak berpegunungan, hanya bukit-bukit tipis dari bongkahan amis. kitaran awannya hanyalah gumpalan-gumpalan batu besar yang tinggal menunggu dilempar gelegar halilintar.
maka seketika penaku lumpuh. tidak seaksara pun dari tubuhmu mampu tersentuh.